Dia terdiam dalam keramaian, hanya bisa tertunduk
dan melihat keadaan dirinya. Lusuh, kotor dan amat tak layak untuk berada di
tempat ini. Aku hanya terdiam menatapnya, ia begitu minder dengan
teman-temannya yang rata-rata adalah anak seorang konglomerat. “kamu kenapa
yo?”, ucapku sambil menepuk pundaknya dan hal itu membuatnya sedikit terkejut.
“ehhmm gag papa bu..”, jawabnya lirih. “kamu gag main sma teman-temanmu?”,
“mana ada yang mau main sama anak seorang pemulung seperti saya bu, negara ini
negara yang menjujung tinggi siapa yang kaya dia yang bisa berkuasa dan orang
miskin seperti saya ini hanya bisa menjadi babu bagi mereka, bahkan tak pernah
di anggap”, jawab yoyo polos. Aku meneteskan air mata kala mendengar ucapan
yoyo, “nak...gag semua orang bisa seberuntung kamu, harusnya kamu bisa
bersyukur mereka tak memiliki hati sebaik kamu. Tak ada guna orang kaya harta
tapi tak hati. Kamu anak yang hebat, kamu yang nantinya akan mengubah nasib
keluargamu, kamu anak yang cerdas, ya anak-anak seperti kamu inilah para
generasi pemimpin bangsa”, kataku sambil mengelus-elus pundak yoyo. “tapi aku
tak ingin jadi pemimpin bu!!”, jawab yoyo singkat. “kenapa?”, tanya ku. “aku
hanya ingin perubahan dari negeri ini, sama rata. Tak ada bapak dan ibu negara,
yang ada semua orang sama. Pemimpin gag harus minta di hormati, pemimpin gag
harus di layani oleh rakyat jelata, pemimpin gag harus kemana-kemana di kawal
dengan ajudan yang badannya besar-besar, pemimpin gag seharusnya tinggal di
rumah mewah yang di sebut “istana negara”, pemimpin gag harus duduk manis di
dalam mobil mewah yang dingin dengan Acnya. Seorang pemimpin harusnya bisa
duduk bersama dengan orang-orang miskin seperti saya, seorang pemimpin harusnya
menjadi pelayan publik, pelayan rakyat yang siap kapanpun rakyat membutuhkan
bantuan, seorang pemimpin harusnya bisa hidup dengan penuh kesederhanaan,
seorang pemimpin harusnya bisa melestarikan kebudayaan bangsa dengan
kemana-mana tanpa menggunakan mobil tapi menggunakan becak, seorang pemimpin
harusnya bisa memberi penghidupan yang layak untuk para rakyat miskin khususnya
petani yang menjadi sumber penghidupan semua hukan malah mengharap gaji yang
amat besar, padahal hakikat pemimpin adalah mengayomi, menghidupi dan
mensejahterakan. Bukan malah minta di ayomi, mencari penghidupan dari
jabatannya dan meminta kesejahtraan untuk hidupnya dan keluarganya sendiri”,
ucap yoyo semangat. Aku melihat kekecewaan yang mendalam dari dalam diri Yoyo
atas nasib bangsa kita, semua orang berebut untuk menjadi orang nomor 1 di
negeri ini, tapi mereka tak pernah berfikir hakikat dari suatu jabatan khusunya
seorang pemimpin.
Yoyo hanya sebagian kecil dari anak bangsa kita
yang merasakan kepedihan dan ketidak adilan yang ada di negeri kita. Kita berkaca
pada pemimpin-pemimpin negeri sekarang ini yang lebih mementingkan isi perut
mereka d bandingkan mengurusi rakyat yang ada di pinggiran yang hanya untuk
mencari sesuap nasi saja sudah sangat kesusahan. Para pejabat bisa tidur
nyenyak di rumah mereka yang meweh sedangkan banyak anak-anak jalan yang bahkan
alas tidur saja tak punya apalagi tempat tinggal. Tragis memang tapi inilah
gambaran negeri kita yang selalu kita banggakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar